Artificial Intelligence (AI) Sebagai Kultur Baru Pelayanan Kesehatan: Siapkah Indonesia?
Ditulis oleh:
dr. Vickry Adzkary Ghufron, MSc, FRSPH
Dokter Kesehatan Digital | Praktisi Kebijakan dan Inovasi Kesehatan | Konsultan Senior INSITE
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah melaju pesat dan mulai menyentuh berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pelayanan kesehatan. Di Indonesia, geliat ini mulai terasa melalui inisiatif penggunaan AI untuk pencatatan rekam medis otomatis bagi rumah sakit, sistem pendukung pengambilan keputusan klinis bagi tenaga kesehatan, hingga chatbot kesehatan berbasis Large Language Models (LLM), AI mulai menjadi bagian dari “tenaga kerja digital” dalam sistem kesehatan kita. Namun, seiring dengan ekspektasi tinggi terhadap efisiensi dan akurasi teknologi, muncul pula pertanyaan yang lebih fundamental: apakah AI benar-benar mendorong layanan kesehatan menuju kualitas prima, atau justru membuka ruang baru bagi risiko yang belum terkelola?
Gelombang AI di Sistem Kesehatan
Penggunaan AI di bidang kesehatan berkembang pesat secara global. Laporan Stanford’s AI Index 2024 menunjukkan bahwa pada tahun lalu, publikasi akademik terkait AI dalam kesehatan meningkat 63%. Di Inggris, National Health Service (NHS) kini memiliki lebih dari 100 proyek AI aktif. Tiongkok mengembangkan rumah sakit pintar berbasis AI dengan kapasitas diagnosis massal, sementara Amerika Serikat telah menyetujui ratusan perangkat medis berbasis AI lewat FDA.
Di Indonesia, AI membawa harapan besar: mengurangi beban kerja dokter, mempercepat proses diagnosis, hingga menjangkau daerah-daerah terpencil yang kekurangan tenaga medis. Dalam sistem kesehatan dengan lebih dari 10.000 Puskesmas dan disparitas layanan yang tajam seperti di Indonesia, AI bisa menjadi equalizer pelayanan yang sebelumnya tidak merata.
Namun potensi tersebut harus dibaca bersamaan dengan risiko struktural. Studi WHO pada 2022 menyoroti potensi automation bias, di mana klinisi cenderung menerima rekomendasi AI tanpa verifikasi kritis, terutama ketika tekanan kerja tinggi. Kedua, banyak model AI dilatih menggunakan data populasi luar negeri, yang belum tentu relevan secara demografis maupun genetik dengan pasien Indonesia. Selain itu, ada potensi “dehumanisasi” dalam hubungan dokter dan pasien jika keputusan klinis terlalu bergantung pada algoritma. Lebih dari itu, belum ada jaminan perlindungan data medis yang memadai. RUU Perlindungan Data Pribadi memang telah disahkan, namun belum diikuti dengan kebijakan teknis sektor kesehatan.
Dalam lanskap yang demikian, pertanyaan tentang akuntabilitas menjadi krusial: jika AI memberikan rekomendasi yang salah, siapa yang bertanggung jawab, developer, tenaga medis, institusi kesehatan, atau regulator?
Urgensi Etika dan Regulasi, Bukan Sekadar Glorifikasi
Di tingkat global, sejumlah negara telah melangkah maju dalam penyusunan kebijakan AI. Uni Eropa akan mengimplementasikan EU AI Act yang menetapkan standar ketat untuk sistem AI di sektor berisiko tinggi, termasuk kesehatan. Amerika Serikat telah merilis Blueprint for an AI Bill of Rights yang menekankan perlindungan data, transparansi algoritma, dan hak untuk intervensi manusia. Sementara itu, WHO menerbitkan prinsip etik AI untuk kesehatan yang mencakup inklusivitas, keadilan, dan keselamatan pasien.
Indonesia perlu mempercepat langkah dalam membangun ekosistem kebijakan AI yang adaptif dan kontekstual. Setidaknya ada tiga hal mendesak yang perlu dilakukan. Pertama, penyusunan regulasi khusus AI dalam layanan kesehatan, dengan pendekatan berbasis risiko dan prinsip kehati-hatian. Kedua, penguatan kapasitas lembaga teknis dan tenaga kesehatan, agar mampu mengevaluasi, mengadopsi, dan mengawasi sistem AI secara kritis. Ketiga, pembangunan sistem audit dan sertifikasi AI, sebagai instrumen tata kelola dan perlindungan publik.
Kementerian dan lembaga terkait perlu duduk bersama untuk merumuskan peta jalan yang mengintegrasikan inovasi teknologi dengan prinsip kehati-hatian regulatif, demi menjamin keamanan dan kebermanfaatan penggunaan AI.
Masa Depan Sistem Kesehatan yang Adaptif dan Etis
Membangun masa depan sistem kesehatan yang memanfaatkan AI tidak cukup hanya dengan membeli teknologi. Kita perlu menata ulang ekosistem: memperkuat kapasitas SDM kesehatan agar mampu bekerja berdampingan dengan AI, memastikan sistem digital kita aman dan interoperabel, serta menempatkan pasien sebagai pusat dari setiap inovasi teknologi.
AI bukan sekadar alat, melainkan simbol dari perubahan cara kerja dan cara berpikir dalam pelayanan kesehatan. Jika digunakan dengan bijak, ia bisa menjadi jalan menuju layanan yang lebih inklusif dan bermutu. Tapi jika diadopsi tanpa arah, ia justru bisa menciptakan kesenjangan baru yang tak kalah berbahaya dari masalah yang coba ia selesaikan.